Setelah Indonesia merdeka berdasar UU No 1 tahun 1946 jo UU No 73 Tahun 1958. Wetboek van Strafrecht Stadblad 1915 No 732 kembali diberlakukan.
Pasal RKUHP Penghinaan Presiden ini akhirnya di batalkan oleh MK setelah dilakukan uji materi pada 2006 lalu.
MK menganggap RUU tersebut tidak bisa mengikuti perkembangan pemikiran atau ide dan aspirasi tuntutan atau kebutuhan masyarakat baik nasional maupun internasional.
Keputusan yang mendapatkan respon positif dari Lembaga HAM dunia yang menganggap Indonesia lebih baik dari beberapa negara Eropa seperti Belanda, Belgia, dan Swedia yang masih menerapkannya.
Namun wacana yang dimunculkan Kembali di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo ini sempat Kembali menuai kritik.
Kala itu Joko Widodo menyatakan RUU Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden bertujuan untuk melindungi simbol negara.
Bunyi rancangan Undang-undang yang menimbulkan kekhawatiran banyak pihak tersebut tertuang dalam pasal 263 RUUKUHP ayat 1
“Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”.
Kemudian ayat 1 yang disebutkan bahwa Pada ayat selanjutnya ditambahkan, “tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri”.