Menjalankan Ibadah Kurban Terdapat Perbedaan Hukum dan Niat, Simak Apa Saja yang Membedakan

24 Juni 2022, 19:30 WIB
Ilustrasi hewan kurban/pexels @Hemant Goyal /

PORTAL KALTENG – Menjalankan ibadah kurban terdapat empat perbedaan yang menjadi dasar hukum wajib dan sunnah dalam pelaksanaannya.

Pada dasarnya hukum berkurban adalah sunnah kifayah yang berarti jika dalam satu keluarga sudah ada yang mengerjakan, maka sudah dinggap menggugurkan tuntutan bagi anggotanya keluarga yang lain.

Namun, jika dalam satu keluarga banyak yang mampu untuk mengerjakan ibadah kurban namun tidak ada satupun diantara mereka melaksanakannya, maka semua yang mampu diantara mereka terkena imbas hukum makruh.

Baca Juga: Hukum Berniat dalam Menjalankan Ibadah Kurban Jauh Hari Sebelum Hari-H, Pahami Penjelasannya Berikut Ini

Adapun niat dalam mengerjakan ibadah kurban juga terdapat perbedaan, terkait pelafalan yang digantungkan pada hukum ibadah kurban itu sendiri.

Ada kurban yang menjadi berhukum wajib, jika pelaksana kurban menjadikan kurban sebagai nazar dengan mengharapkan sesuatu, dan jika harapan itu tercapai maka kurban yang dijadika nazar tadi menjadi wajib untuk dikerjakan.

Bila dilihat dari segi pelaksanaan berkurban pada hari Nahar dan hari Tasyrik, yakni tanggal 10,11,12 dan 13 Dzulhijjah, maka berhukum sunnah. Sebab, waktu pelaksaan kurban yang dianjurkan terdapat pada hari-hari tersebut.

Baca Juga: Bagaimana Cara Kurban Yang Baik dan Benar? Simak Penjelasannya

Berikut ini simak empat perbedaan hukum berkurban berdasarkan wajib dan sunnah, dan lafal niat yang berbeda-beda.

1. Hak mengonsumsi daging bagi pelaksana kurban (mudlahhi)

Pada hukum kurban wajib, mudlahhi tidak diperbolehkan memakan atau haram jika ikut mengkonsumsi daging yang sudah dikorbankan, kendati hanya sedikit memakannya tetap tidak diperbolehkan.

Hukum ini juga berlaku pada setiap orang yang menjadi tanggung jawab dalam pemberian nafkah dari mudlahhi, seperti anggota keluarga atau yang lain, yang hidupnya menjadi beban sang mudlahhi.

Baca Juga: Tips Menyimpan Daging Kurban Mentah Agar Awet dan Tetap Terjaga Kualitasnya

Hal ini dijelaskan oleh Syekh Muhammad Nawawi bin Umar, berikut arti dalam penegasan beliau:

“Orang berkurban dan orang yang wajib ia nafkahi tidak boleh memakan sedikitpun dari kurban yang dinazari, baik secara hakikat atau hukumnya,” (Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, dalam kitab Tausikh ‘Ala Ibni Qasim, hal.531)

Adapun yang berhukum sunnah, diperbolehkan bagi mudlahhi untuk memakan daging yang dikorbankan, namun dianjurkan untuk memakan sedikit untuk beberapa suap dan selebihnya disedekahkan.

Baca Juga: Idul Adha 2022 : Tips Penanganan Hewan Kurban Yang Baik, Dijamin Lancar Tanpa Masalah

2. Takaran yang wajib disedekahkan

Pendapat madzhab Imam Safi’I, standar minimal yang wajid disedekahkan dalam kurban sunnah adalah dengan takaran kadar daging yang menjadi standar kelayakan pada umumnya, setara dengan sekantong plastik.

Sedangkan untuk kurban yang berhukum wajib, semua daging kurban harus diberian kepada fakir miskin tanpa tersisa sedikitpun.

Semua keterangan terkandung dalam kitab berjudul Hasyiyah Ibnu Qasim ‘Ala Tuhfaf al-Muhtaj, juz 9 hal.363, karangan Syekh Ibnu Qasim al-Ubbadi.

Baca Juga: Fadilah Puasa Sunnah Ayyamul Bidh, Bulan Juni 2022 Jatuh Pada Hari Senin Besok

3. Penerima yang berhak mendapatkan daging kurban

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa kurban wajib diberikan seluruhnya kepada fakir miskin, orang kaya dan mudlahhi tidak berhak mendapat bagian sedikitpun.

Namun bila terjadi kesalahan dalam menyedekahkan daging, maka wajid mengganti  rugi untuk fakir miskin. (dalam kitab karangan Syekh Abu Bakr bin Muhammad Syatha al-Bakri, Hasyiyah I’anah al-Thalibin, juz 2 hal.378).

Sementara kurban sunnah, boleh diberikan kepada siapapun termasuk orang kaya dan mudlahhi atau keluarga mudlahhi.( dalam kitab karangan Syekh Abu Bakr bin Muhammad Syatha al-Bakri, Hasyiyah I’anah al-Thalibin, juz 2 hal.379).

Baca Juga: Anjuran Puasa Tarwiyah dan Arofah Sebelum Hari Raya Idul Adha, Simak Keutamaan dan Tanggal Pelaksanaannya

4. Niat

Baik kurban sunnah atau wajid boleh disembelih sendiri oleh mudlahhi atau diwakilkan kepada orang lain, namun harus dengan niat yang sesuai.

Dalam hal niat, berikut perbedaan niat mewakilkan kurban dan menyembelih sendiri.

Niat kurban sunnah yang diniati sendiri;

“Aku niat berkurban sunnah untuk diriku sendiri karena Allah ta’ala,”.

Baca Juga: Syarat Penyembelih Hewan Kurban dan Jenis Menyembelihnya Menurut Islam

Niat kurban sunnah yang dilakukan oleh wakil;

“Aku niat berkurban sunna untuk … (nama orang yang memberi wakil) karena Allah ta’ala,”.

Niat kurban wajib yang diniati sendiri;

“Aku niat berkurban wajib untuk diriku sendiri karena Allah ta’ala,”.

Niat kurban wajib yang diwakilkan;

“Aku niat berkurban wajib untuk … (nama orang yang memberi wakil) karena Allah ta’ala,”.

Itulah berbagai perbedaan hukum kurban serta niat yang membedakan disesuaikan penyembelih kurban dan hukum kurban itu sendiri.***

 

Editor: Jeki Purwanto

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler