Tersangka Penembakan 14 Murid SMA di AS Tak Jadi Dihukum Mati, Masyarakat Kecewa

14 Oktober 2022, 14:30 WIB
Nikolas Cruz, tersangka penembakan 17 anak sekolah di Florida, AS. /ABC News

PORTAL KALTENG – Nikolas Cruz, pria yang telah membunuh 17 orang pada tahun 2018 di sebuah SMA di kota Parkland, Florida, AS, dibebaskan dari hukuman mati oleh para juri pada sidang hari Kamis, 13 Oktober 2022.

Sebagai gantinya, para juri menjatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan bersyarat.

Beberapa anggota keluarga korban tampak menggelengkan kepala mereka di ruang sidang Fort Lauderdale ketika juri menolak permintaan jaksa untuk menghukum mati Cruz dalam salah satu insiden penembakan sekolah paling mematikan dalam sejarah AS itu.

Baca juga: Tembaki Bocah yang Sedang Makan Burger di Mobil, Polisi Ini Langsung Dipecat

Baca juga: Hilang Dua Bulan, Wanita AS Ini Akhirnya Ditemukan dalam Keadaan Sudah Tak Bernyawa

Pria berusia 24 tahun tersebut tidak menunjukkan banyak emosi saat duduk di meja pengacara pembela kala putusan dibacakan.

Cruz mengaku bersalah pada tahun lalu atas pembunuhan berencananya di SMA Marjory Stoneman Douglas di Parkland.

Ia berusia 19 tahun pada saat melakukan tindak kriminalnya dan telah di-drop-out dari sekolah. Cruz menggunakan senapan semi-otomatis untuk membunuh 14 siswa dan tiga orang anggota staf.

Para juri mendapati ada beberapa faktor yang bisa meringankan hukumannya, seperti gangguan yang berasal dari penyalahgunaan zat oleh ibu kandungnya selama kehamilan.

Akan tetapi, jaksa penuntut berpendapat bahwa kejahatan Cruz merupakan pembunuhan berencana yang keji dan kejam, dan merupakan salah satu kriteria yang ditetapkan hukum Florida untuk memutuskan apakah hukuman mati harus dijatuhkan.

Baca juga: Jejak Perusahaan AS yang 'Diam-diam' Jadi Pemasok Alat Perang Rusia

Di bawah hukum Florida, juri harus dengan suara bulat memberi keputusan untuk merekomendasikan apakah hakim akan menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa.

Hal itu membutuhkan kesimpulan bahwa faktor-faktor yang memberatkan harus lebih besar daripada faktor-faktor yang meringankan, setidaknya pada satu tuduhan kriminal.

Ketua juri, Benjamin Thomas, mengatakan kepada stasiun televisi Florida bahwa seorang juri bersikeras agar Cruz tidak mendapatkan hukuman mati karena penyakit mentalnya.

"Ada satu juri yang dengan tegas mengatakan 'tidak,' ia tidak bisa melakukannya (menjatuhi hukuman mati)," kata Thomas. Ia juga menambahkan bahwa dua juri lain akhirnya memberikan suara yang sama.

Beberapa anggota keluarga pun menyatakan kekecewaan mereka karena para juri tidak menyerukan hukuman mati.

Baca juga: MMZ Avangard dan Extreme Networks: Perusahaan AS yang Ada di Balik Pembuatan Rudal Tercanggih Rusia

"Saya jijik dengan sistem hukum kita. Saya jijik dengan para juri itu," kata Ilan Alhadeff, ayah dari Alyssa Alhadeff, salah satu korban. "...Untuk apa kita memiliki hukuman mati? Apa tujuannya?"

"Sangat tidak nyata bahwa tidak ada yang memperhatikan fakta-fakta kasus ini, bahwa tidak ada yang bisa mengingat siapa korban dan seperti apa penampilan mereka," tambah Tony Montalto, ayah dari korban bernama Gina.

Saksi-saksi pembela, termasuk saudari tiri Cruz, bersaksi bahwa ibu mereka banyak minum dan menggunakan narkoba termasuk kokain saat ia mengandung Cruz.

Saat mengaku bersalah, Cruz meminta maaf atas pembunuhan itu dan berkata bahwa dirinya ingin mendedikasikan hidupnya untuk membantu orang lain.

Sebelumnya, Hakim Sirkuit Broward County, Elizabeth Scherer, telah menetapkan hukuman formal pada Cruz untuk 1 November.

Baca juga: Penanganan Kasus Penembakan Massal di AS Dinilai Lamban, Satu Kesatuan Polisi di Texas Dibekukan

Gubernur Florida, Ron DeSantis, kemudian menyuarakan tentang kekecewaannya terhadap putusan tersebut di sebuah konferensi pers.

Amerika Serikat telah mengalami banyak insiden penembakan di sekolah dalam beberapa dekade terakhir, termasuk satu penembakan pada bulan Mei tahun ini di Uvalde, Texas, yang menewaskan 19 anak dan 2 guru.

Beberapa remaja yang selamat dari amukan Cruz lalu membentuk organisasi "March for Our Lives", sebuah organisasi yang menyerukan undang-undang pengendalian senjata.

Anne Ramsay, ibu dari korban bernama Helena Ramsay, menambahkan, "Tidak ada alasan di negara ini untuk memiliki senjata perang di jalanan. Jika orang-orang tidak mengerti itu, maka ada sesuatu yang salah di negara ini."

Editor: Reni Nurari

Sumber: Reuters

Tags

Terkini

Terpopuler