Sekjen KLHK Bambang Hendroyono : Saya Saksi Sejarah Proses Kolaborasi Greenpeace dan Perusahaan Besar Tertentu

- 23 November 2021, 11:15 WIB
KLHK Tanggapi Permintaan Greenpeace melalui siaran persnya tertanggal 2 November 2021
KLHK Tanggapi Permintaan Greenpeace melalui siaran persnya tertanggal 2 November 2021 /KLHK

PORTALKALTENG - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan penjelasan terhadap beberapa hal yang dikemukakan oleh Greenpeace dalam siaran persnya tertanggal 2 November 2021.

Greenpeace menyatakan bahwa selama 2002-2019, deforestasi hampir 1,69 juta hektar di konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan seluas 2,77 juta hektar kebun sawit.

Untuk menjawab pernyataan dan pertanyaan tersebut, KLHK mengeluarkan siaran pers Nomor: SP.403/HUMAS/PP/HMS.3/11/2021.

Terkait hal tersebu, Sekjen KLHK Bambang Hendroyono menegaskan bahwa Greenpeace tentu menyadari laju deforestasi Indonesia dari tahun ke tahun pada periode tersebut.

Baca Juga: Lonjakan Infeksi Covid-19 di Eropa Tak Terbendung, Amerika Larang Warganya Bepergian ke Jerman dan Denmark

Hal tersebut dikarenakan Greenpeace turut ambil bagian dalam kerjasama yang dilakukannya dengan sejumlah perusahaan sawit dan kehutanan di Indonesia, dalam kurun waktu tahun 2011 hingga 2018.

Pada tahun 2011, Greenpeace mulai berkolaborasi dengan perusahaan grup sawit yang cukup besar, yang di antaranya menunjukkan bagaimana tidak mudahnya suatu grup bisnis sawit untuk melepaskan dirinya dari deforestasi, pengeringan gambut serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Baik Karhutla yang terjadi pada konsesi-konsesi grup sawit itu sendiri maupun rantai pasokannya yang ketika itu terjadi, justru dalam periode saat kerjasama perusahaan-perusahaan itu dengan Greenpeace.

Bambang juga menyampaikan, pada tahun 2013, Greenpeace juga berkolaborasi dengan grup perusahaan industri pulp dan kertas, di Sumatera.

Baca Juga: RESMI! FIFA Umumkan Nominasi FIFA Football Award 2021: Nama Lionel Messi hingga Mohamed Salah kembali masuk

Selama berkolaborasi dengan Greenpeace, perusahaan tersebut masih terkait dengan deforestasi, melakukan pengeringan gambut, pembukaan kanal-kanal baru sepanjang ratusan kilometer.

“Menteri LHK memberikan sanksi-sanksi kepada sejumlah perusahaan grup besar tersebut serta perusahaan lainnya dari kejadian Karhutla 2015, pembukaan kanal-kanal baru serta kegiatan penanaman akasia di atas areal terbakar. Sanksi-sanksi itu diberikan pemerintah justru pada saat Greenpeace masih dalam kerja bersama, dalam kolaborasinya dengan perusahaan dimaksud,” ujar Bambang.

Greenpeace, lanjutnya, tentu memiliki pemahaman dan pengalaman yang cukup atas isu deforestasi, pengeringan gambut dan karhutla, karena pernah secara dekat berkolaborasi dengan grup besar perusahaan sektor sawit dan pulp/kertas bertahun-tahun lamanya.

Terhadap permintaan Greenpeace untuk mencabut izin-izin usaha di lahan gambut, Sekjen KLHK menegaskan bahwa Greenpeace tidak memberikan syarat dalam kolaborasinya dengan grup perusahaan saat melakukan kolaborasi, untuk menyerahkan izin-izin usaha grup perusahaan tersebut yang wilayahnya juga antara lain berada di lahan gambut.

Baca Juga: Prakiraan cuaca Kota Palangkaraya dan Sekitarnya, Selasa, 23 November 2021, Waspada Perubahan Cuaca

“Saya saksi sejarah, bagaimana proses kolaborasi Greenpeace dengan grup perusahaan besar tertentu itu dideklarasikan pada tahun 2013 tersebut. Greenpeace tidak memberikan syarat kepada perusahaan dimaksud untuk tidak boleh beroperasi pada areal izin-izin usahanya yang sedang berlangsung di lahan gambut,” tegas Sekjen KLHK.

“Greenpeace juga tidak mensyaratkan agar perusahaan itu menyerahkan izin-izin usahanya di lahan gambut kepada pemerintah untuk dicabut,” tambahnya.

"Selama bertahun-tahun berkolaborasi dengan Greenpeace, grup sawit dan pulp/kertas perusahaan besar dimaksud tetap beroperasi di areal izin-izin usahanya di lahan gambut,” tegasnya.

Bahkan, lanjut Bambang, dalam kebijakan konservasi hutan yang diluncurkan oleh grup sawit dan pulp/kertas tersebut, dimana pembuatan kebijakan-kebijakan perusahaannya disusun, disetujui serta dideklarasikan oleh grup perusahaan itu bersama-sama Greenpeace.

Baca Juga: PSIS Berhasil Taklukan PSM Makassar dengan Gol Semata Wayang Bruno Silva Diawal Laga

Tidak terdapat klausul yang mengharuskan grup sawit dan pulp/paper perusahaan itu untuk menghentikan pemanfaatan lahan gambut oleh grup perusahaan besar dimaksud.

“Mengapa Greenpeace sekarang mendesak pemerintah untuk mencabut izin-izin usaha di lahan gambut? Ini menunjukkan posisi Greenpeace yang tidak konsisten,” ujar Sekjen KLHK tersebut.

Mengenai sebaran konsesi-konsesi HTI dan sawit di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di 7 provinsi prioritas restorasi gambut.

Bambang menekankan bahwa Greenpeace tentu memahami dengan baik bahwa hampir seluruh izin-izin usaha di lahan tersebut bukan diberikan dalam periode pemerintahan Presiden Jokowi.

Baca Juga: Meski Raih Hasil Imbang Kontra Bhayangkara FC, Dejan Antonic: Saya bangga dengan raihan imbang PSS Sleman

“Ketika Greenpeace mengumumkan kolaborasinya, dengan grup sektor sawit dan pulp/kertas, konsesi-konsesi tersebut telah berada di lahan gambut, dan Presiden Jokowi belum menjabat sebagai Presiden RI,” jelasnya.

Terkait dengan sawit di dalam kawasan hutan, Sekjen KLHK menggaris-bawahi bahwa hampir seluruh kasus tersebut bukan terjadi pada periode pemerintahan Presiden Jokowi.

“Mengapa Greenpeace tetap memulai dan melanjutkan kolaborasi dengan grup sawit perusahaan itu hingga bertahun-tahun lamanya yang konsesi-konsesinya berada di dalam kawasan hutan? Ini juga contoh nyata tidak konsistennya Greenpeace,” tegas Bambang.

“Jika sekarang Greenpeace mempersoalkan soal sawit di kawasan hutan, pertanyaannya adalah mengapa baru sekarang mempersoalkannya? Bukankah Greenpeace telah bertahun-tahun lamanya berkolaborasi dengan grup sawit yang memiliki sawit di dalam kawasan hutan?,” tanya Sekjen KLHK.***

Editor: Patriano Jaya Maleh

Sumber: KLHK


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x